Ketika Baginda Rasulullah SAW mendengar kabar
kelahiran cucunya dari putri
kesayangannya, Fatimah Az-zahra, beliau langsung bergegas datang
menengok dan mengucapkan selamat pada putri dan menantunya. Saat itu, sepertinya
tidak ada kebahagiaan lain yang bisa menandingi kebahagiaan Baginda Rasulullah
mendapatkan seorang cucu kesayangan. Beliau langsung melafalkan azan pada
telinga kanannya dan iqamah pada telinga kirinya, lalu memberi nama cucunya
tersebut dengan nama yang sangat indah, Husain.
Seminggu setelah itu, Baginda Rasul menyembelih kambing aqikah dan membagikannya kepada para fakir miskin. Kecintaan Baginda Rasul kepada cucunya, Husain, selanjutnya terekspresi dalam kehidupan Husain kecil. Sebelum diasuh oleh Ayahandanya sendiri, Husain hidup dalam asuhan Kakeknya selama lebih kurang enam tahun. Husain kecil tumbuh dalam cinta dan kasih sayang dari seorang yang paling dicintai Allah, Muhammad Rasulullah. Saking cintanya pada Husain, pernah dalam suatu sholat, Baginda lama bangun dari sujudnya karena ada cucunya sedang bermain di atas punggungnya, Baginda tidak mau kalau ia bangun cucunya akan terjatuh.
Sungguh, Husain adalah cucu kesayangan yang
menjadi tumpuan harapan Baginda sebagai penerus perjuangannya pembela
mustadh’afien! Dan benar, sepeninggal Rasullullah SAW, Imam Husain bin Ali bin Abi
Thalib lah sosok yang menjadi simbol dan inspirasi bagi ummat manusia yang
mencintai kebenaran dan keadilan dalam melakukan perlawanan terhadap penguasa lalim.
Baginya kemerdekaan dan kebahagiaan tidak musti dicapai dengan kekuasaan dan kelimpahan
harta, melainkan dengan kepasrahan dan kecintaan pada Khaliqnya. Imam Husain
berkata: "Sesungguhnya ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah
karena mengharap rahmat Allah, dan yang demikian itu adalah ibadah pedagang.
Ada pula yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, dan yang demikian
itu adalah ibadah para budak. Dan ada pula yang beribadah kepada Allah karena
berterima kasih/bersyukur kepada-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah orang
merdeka, dan inilah ibadah yang paling utama."
Dalam membela kaum mustadh’afien, selain
melakukan perlawanan dengan menolak melegitimasi penguasa dzalim, Sang Imam
juga rela mengorbankan harta, keluarga, dan bahkan darahnya sendiri untuk
menjadi martir perlawanan. Dalam usia 57 tahun, di sebuah padang tandus bumi
Karbala, Imam Husain gugur sebagai syahid dalam sebuah pertempuran yang tidak
seimbang melawan khalifah biadab, Yazid bin Muawiyah. Beliaulah Sayyidus Syuhada,
sang pemimpin bagi para syahid dan para mujahid.
Sungguh, membaca sejarah Imam Husain adalah
membaca fase demi fase perjalanan seorang ksatria sejati, yang meskipun sudah
tahu telah dikhianati oleh 15 ribu lebih para pengikutnya, beliau tetap maju
berperang melawan tentara bejat, Ibnu Ziyad. Sang Imam tahu bahwa dirinya dikhianati,
Sang Imam tahu bahwa dirinya akan dikorbankan, Sang Imam tahu bahwa ia akan dipenggal
kepalanya untuk tumbal penguasa zalim, tapi Sang Imam tak bergeming: TERUS MELAWAN
dan MELAWAN. Ia melawan karena hanya dengan itu Islam akan bangkit. Ia terus melawan
karena ia tahu bahwa kebenaran dan keadilan musti ditegakkan. Ia terus melawan karena
dunia bukanlah tujuan. Ia terus melawan karena akhirat adalah tujuan, dan nyawa
hanyalah titipan.
Wahai kalian para pecinta keadilan dan
kebenaran, bacalah sejarah Imam Husain. Bacalah sejarah tentang peristiwa
Karbala . Maka kalian akan temukan ruh dari pejuangan sejati dan buah dari
kecintaan pada Allah dan Rasul. Kalian akan temukan bahwa kebenaran harus dibela,
keadilan harus ditegakkan dan penguasa yang lalim harus di lawan. camkan
kata-kata Sang Imam berikut ini: "Aku tidak melihat kematian melainkan
kebahagiaan, sedang hidup bersama orang-orang zalim adalah kehinaan."
*Untuk membangkitkan semangat 10 Muharram
bukan hanya dengan tangis dan sesal
Tapi dengan nyata mengimplementasikan
Semangat Jihad dalam diri..
0 komentar:
Post a Comment